Sabtu, 03 Oktober 2015

Malaikat Terindah

Dari kejauhan
Jernih Mata Air terdengar berjatuhan
Coba tuk ku yakinkan kembali adanya Sayup
Kebisingan yang indah ini di penghujung Fajar

Nyatanya bukanlah Mata Air yang terdengar Seindah itu
Melainkan, Ialah Air Matanya yang berjatuhan
Seolah menyejukkan tiap hati yang bernyawa
Di Sudut Ruang itu, ku dapati Malaikat Terindah

Bersimpuh Anggun dibawah Hamparan Suci Permadaninya
Teduh terdengar segala pengharapannya
Di dalam lembut Lisan yang Bersahaja
Di tiap Bait Kidung Doa-Mu Bunda


Mati Rasa

Kasih...
Lihatlah Arahku yang kini rapuh
Yang dahulu sempat Engkau indahkan pula
Jalannya cerita Hidupku

Namun seiring berjalannya waktu
Rasaku kian memudar untukmu, Terang saja !
Kecewaku tak pernah lagi Engkau Tenangkan
Dan diam ku pun tak pernah lagi Engkau pedulikan

Kini Maafkanlah bila hatiku telah mati rasa untukmu
Tak ada sedikitpun Niatku untuk menyakitimu
Bila memang takdir ini akhirnya
Kan memisahkan kita untuk selamanya

Kejarlah kebahagiaan lainnya
Yang melebihi keadaanku ini
Dan bila memang takdir mengizinkan tuk kembali
Nantikan Hadirku di batas waktumu

Retak dalam Jiwa

Rela ku jalani
Menempuh Tirakat Cinta ini sendiri
Kini yang engkau lihat
Memanglah Aku yang berdiri tegap

Di batas tepian dermaga itu
Tersenyum kala Melepasmu
Seolah Kuat menantang sesak seisi hati
Namun coba, engkau berbalik lihat aku kembali

Kan Engkau dapati
Ialah aku yang retak jiwanya
Bersembunyi dibalik
Raut wajah pucat pasi

Dilema Sang Penyair

Simpan saja bila itu menyakitkan
Kataku Bukanlah Sebuah Pedoman
Ataupun sebuah rujukan pembelaan
Yang terbata kala terdesak menata lisan

Hanyalah sepenggalan penjabaran
Akan Ketidakpastian kejujuran Aksen Lisan
Yang tak ada seorang pun tahu
Melebihi adanya diriku

Biarlah dengan cara itu
Menjadi sebuah hukuman dalam hidupku
Atas kesefahaman yang mungkin
tak akan pernah engkau mengerti